SENI TEATER
Persoalan seni adalah persoalan nilai-nilai manusia, demikian seni
teater juga berbicara tentang manusia dan nilai-nilainya, tentang segala
sesuatu persoalan dan pandangan hidup yang dimanusiakan. Dalam teater
banyak orang yang terlibat dimana seluruhnya memiliki kepentingan dan
tanggung jawab yang sama. Suatu kolektivitas yang memiliki korelasi
positif dalam pembangunan solidarotas, kegotong-royongan dan pemikiran.
Seni Teater sebagai produk merupakan sebuah proses penciptaan dari seni
drama ke dalam seni Pertunjukan atau dapat disingkat “proses teater”.
Sebuah proses teater keberadaanya mengacu pada “formula dramaturgi”.
Istilah “dramaturgi” itu sendiri dipungut dari bahasa belanda “dramaturgie” berarti ajaran tentang seni drama (keer van de dramatische kunst) atau dari bahasa Inggris “dramaturgy” berarti seni atau teknik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk teater. Secara singkat bisa disebut “seni teater” (the art of the theatre).
Dalam glosari, menyebutkan bahwa dramaturgi adalah koposisi dramatik
yaitu teknikal yang digunakan dalam penulisan unsur bunyi dan unsur
acting (penjiwaan) atau gerak merupakan unsur penting di antara
unsur-unsur penting lainnya dalam drama. Yang dimaksud rumusan atau
formula dramaturgi’ di atas merupakan proses yang meliputi 4M yaitu (1) Mengkhayal (dalam bentuk ide), (2) Mencipta atau menuliskan (dalam bentuk script teks dramatik atau naskah lakon; (3) Mempertunjukan dan (4) Menyaksikan (bisa dalam bentuk komentar, ulasan, resensi, kritik, kajian atau penelitian).
Untuk mempermudah kita mempelajari tentang seni teater sebaiknya kita
sepakati bahwa kata drama digunakan dalam konteks sastra sebagai
naskah/lakon ceritanya. Istilah teater sebagai bentuk kegiatan yang
bertalian dengan pelatihan, pendidikan dan pengolahan drama dan
pementasannya sehingga teater dapat berarti proses pementasan drama.
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEATER
Istiah teater, drama, dan sandiwara memiliki ciri khusus dan
perkembangan yang berbeda seiring dengan perubahan jamannya. Kata drama
diturunkan dari kata dromain (bha. Yunani) yang berarti sebagai kejadian, risalah, karangan yang dipertunjukan memakai mimik (Aeschylus + 525-456
SM). Dalam perkembangannya drama memiliki ciri khas sendiri sebagai
bagian dari seni sastra karena merujuk pada isi ceritanya (drama
keluarga, drama percintaan, drama tragedi, drama perjuangan dll).
Istilah drama harus memiliki 3 aspek yaitu :
1. Aspek kesatuan (ruang, waktu, dan peristiwa)
2. Aspek penghemat (waktu, dialog, dan gerak)
3. Aspek Psikis (karakterisasi, penjiwaan).
Drama memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan serta permasalahan
kemanusiaan, aspek kejiwaan, sosial, agama, politik, HAM merupakan
esensi dari drama.
Kata teater berasal dari kata theatron yang
berari memandang dengan takjub. Semasa plato (428-348) mengacu pada
istilah gedung pertunjukan semasa Herodotus (490-348 SM) atau mengacu
pada bentuk auditorium publik. Dalam perjanjian lama istilah teater
mengacu pada bentuk karangan tonil. Pada perkembangan selanjutnya
istilah Teater menjadi sebuah kelompok kolektif (organisasi) yang
melakukan pertunjukan drama dengan konsep modern yang lebih padat.
Teater adalah cabang seni yang berbicara tentang kemanusiaan dan yang
dimanusiakan yang dikembangkan dalam klektivitas pelaku teater.
Sedangkan istilah sandiwara berasal dari Indonesia, menurut PKG Mangkunegara VII (1885-1944) berasal dari kata sandhi dan warah, sandhi berarti symbol rahasia, makna dibalik itu, sedangkan warah adalah
ajaran/pendidikan. Kata sandiwara di daerah Jawa dinggunakan untuk
merujuk pada kegiatan seni pementasan terutama kethoprak. Di Indonesia
perkembangan seni teater/drama/cerita terbagi atas sejarah kebudayaan
yaitu :
1. Prasejarah
Teatertikan.drama/sandiwara belum dikenal atau karena tidak ada bukti
tertulis sehingga sulit diidentifikasikan. Sebagai bentuk seni
pertunjukan sastra sangat tidak mungkin secara logika pada masa
prasejarah ada, karena belum dikenalnya bentuk tulisan, akan tetapi
gerak tari yang mengandung suatu cerita itu sudah merupakan bentu
teater. Keyakinan yang dianut adalah animistik dan dinamistik. Bentuk
teaterikal dari pemujaan seudah banyak diadakan pada masa itu,
persembahan korban berupa manusia padasuku bangsa Maya/Aztek, ritual
ruwatan di Jawa
2. Hindu-Budha
Masuknya pengaruh dari budaya tulis dan terbukanya perdagangan di
seluruh Nusantara membari ruang khusus bagi perkembangan sastra pada
masa ini. Cerita yang dibawakan berasal dari India, Cina, Timur Tengah,
Jataka (kehidupan Budha), Fabel ( cerita binatang, Mite (legenda
mengenai makhluk supranatural). Bukti tertua ditemukan di Jawa Barat
berupa prasasti tentang pertunjukan drama pada upacara peresmian
bangunan irigasi pada abad ke 4 yang merupakan pemujaan Syiwa.
Perkembangan teater/drama dari karya sastra pada masa ini sangat banyak
ditemukannya lebih dari 100 naskah baik tertiulis pada parasasti batu
maupun daun Lontar. Dokumen karya sastra yang terbanyak berasal dari
Bali. Pembagian periode sastra/drama ini ada 4 masa yaitu : masa mataram
(abad 9), Kadiri (abad 12), Majapahit I (abad 14), Majapahit II (abad
16). Sebagian besar berupa puisi (kidung, tembang, macapat), Prosa
(gancaran), kitab wiracarita (kakawin Ramayana dan Mahabarata) sejarah
(negarakertagama dan Pararaton).
3. Islam
Sebenarnya dilarang juga seni pertunjukan. Karya sastra suluk yang
merupakan cerita mitologi bernafaskan Islam, cerita Amis Hamsyah, cerita
Menak, mitos Islam juga memberi pengaruh terhadap karya Bentaljemur
Adamakna,Mujabaarat, Kalacakra yang berisi ayat-ayat Al Quran.
4. Modern
Munsulnya pengaruh kolonialisme dari bangsa portuh\gis dan Belanda
meberi wacana baru bagi dunia pertunjukan. Akhir abad XIX sebagai
konsekuensi logis dari situasi politik, muncuknya sistem perekonomian
pusat adsministrasi dan pemerintahan menimbulkan kota-kota ekonomi maka
berpengaruh pula terhadap seni pertunjukan yang berbasis komersial.
Keinginan kembali pada Akulturasi Pra Hindu (animisme-dinamisme),
Hindu-Budha (Kejawen) sangat kuat.
B. FUNGSI TEATER
Teater memilki fungsi ritual (religio), sosial (kolektifitas),
pendidikan (esensi) dan hiburan (entertinment). Untuk mencapai fungsi
tersebut harus memiliki kriteria :
1. Estetika;
memiliki unsur keindahan baik berupa materiil maupun non materiil yang
terdapat pada objek atau subjek atau yang bersifat nilai.
2. Etika; membimbing manusia menuju peradaban/kebudayaan yang lebih baik
3. Edukatif; memiliki tujuan menuntun manusia pada arah kemajuan jasmani, rohani dan intelektual.
4. Konsultatif; memilik unsur penerangan mengenai kondisi dan pemecahan persoalan yang ada di masyarakat.
5. Kreatif; memiliki bentuk sajian gagasan (ide) yang orisinil sehingga menarik.
6. Rekreatif, memilik unsur hiburan sehat bagi jiwa penikmatnya.
Melihat betapa ketatnya cerita fungsi teater dan unsurnya sehingga karya
seni teater dituntut selalu mengacu pada kehidupan manusia dan
kemanusiaannya (sumber, aspek, isi) yang membawa perenuangan untuk
menjembatani dan memperbaiki keseimbangan kehidupan manusia dan
lingkungannya (Tuhan, alam sosial, budaya, politik, ekonomi) sehingga
dapat disimpulkan bahwa fungsi seni teater untuk mendidik manusia agar
menjadi manusia yang memiliki sikap moral, intelektual yang baik sesuai
kaidah, norma dan sistem nilai tertentu.
C. BENTUK DAN JENIS TEATER
1. Tradisional
Teater daerah atau teater tradisional lebih diasumsikan pada sandiwara.
Memiliki ciri-ciri identitas dan konvensi kedaerahan (bahasa, iringan,
cerita).
a. Teater tradisional Klasik.
Hidup tumbuh dan berkembang di lingkungan Keraton, sejak sistem monarki
(eksklusiv) terbentuk sekitar abad ke 4 M sehingga memiliki
aturan-aturan baku yang harus dianut (pakem) baik itu bahasa, gerak, aturan adegannya, dan waktu pementasanya. Sehingga aturan-aturan yang ada tidak boleh dilanggar (pamali).
Cerita bersumber dari kitab/serat/ajaran tertentu yang tertulis
mengenai pemujaan, kepahlawanan dan hubungan antar keraton. Memiliki
makna pendidikan dan pemujaan/ritual. Tempat pertunjukannya khusus
(tertutup). Contohnya teater tradisional klasik antara lain : wayang
uwong, langendriyam, tari topeng, tari Wireng, tari Bedhaya.
b. Tari tradisional rakyat.
Hidup, tumbuh dan berkembang di luar tembok keraton, berkembang pada
masyarakat biasa dengan konvensi kedaerahan yang kental dengan
improvisasi dan terkadang seadanya dan penggarapannya tidak serius.
Cerita bersumber dari babad, legenda, mitologi, atau kehidupan
sehari-hari tidak menggunakan naskah lakon tertulis, gerakan dan
bahasanya bersifat improfisasi/spontan tidak teratur digarap berdasarkan
konvensi, gaya dan bentuk bentuk tradisional. Berfungsi sebagai media
hiburan/sindiran terhadap suatu peristiwa atau bahkan kekuasaan keraton.
Tempat pertunjukannya arena terbuka. Beberapa contoh jenis teater
tradisional Indonesia adalah Bangsawan (Sumatra Utara, Randai (Sumatra
Barat); Demuluk (Sumatera Selatan), Makyong Mendu (Riau, Kalimantan
Barat); Mamanda (Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur); Ubrug, Longser,
Bonjet (Jawa Barat); Lenong Topeng, Blantik (Batawi); Mansres
(Indramayu); Sintren (Cirebon); Kethooprak (Yogakarta, Jawa Tengah, Jawa
Timur), Wayang (Kulit atau Purwa, Orang Topeng, Golek, Gedog Wahyu,
Suluh, Warta dll yang tersebar di seluruh pulau Jawa), Dadung Awuk
(Yogyakarta), Kuda Lumping(Yogya, Solo, Jawa Tengah, Ponorogo, Jawa
Timur); Srandhul (Jawa Tengah, Jawa Timur), Ludrug, Kentrungan (Jawa
Timur) dll.
2. Modern
Teater modern diasumsikan sebagai pengadopsian teater Barat (Opera)
karena memang terpengaruh dan tumbuh berkembang dari dan sejak zaman
Hindia Belanda. Pengadopsian ini pada awalnya berkembang dengan
mementaskan karya drama klasik barat (karya: W. Shakespeare, Jan
Fabricius, Henri Broongest) sehingga muncul kelompok teater amatiran di
seluruh Nusantara. Roh teater modern adalah universalisasi disegala
aspeknya (cerita, bahasa, setting, panggung prosenium, pola cerita,
pencahayaan), naskah tertulis dengan kara-kata mini atau sketsa, yang
biasa disebut teater mini kata atau teater primitif. Management
pertunjukan sudah dibuat secara tegas dan jelas (profesional), sutradara
memiliki kebebasan pengembangan dalam segala aspek dramatisasi.
Gaya teater modern Barat diterapkan pertama kali diterapkan oleh
kelompok teater modern Indonesia (“Tjahaja Timoer, Oroen dan Opera
Dardanella). Cerita yang diangkat sudah bergeser dari gaya mitologi
menjadi gaya realis. Usmar Ismail dkk meluncurkan karya ‘sandiwara
penggemar maya’ sebagai tonggak teater modern di Indonesia. Dengan
konsep pengaruh dari teater barat. Kemudian muncul ASDRAFI (Akademi Seni
Drama dan Film Indonesia) dan kemudian ATNI (Akademi Teater Nasional
Indonesia) dari kedua lembaga pendidikan inilah lahir seniman dan
artis/aktor teater di Indonesia yang mengusung gaya-gaya pementasannya
sendiri-sendiri. Karena berkiblat pada gaya barat.
D. ALIRAN-ALIRAN TEATER
Teater modern terbagi dalam aliran-aliran. Aliran tersebut dipengaruhi
oleh perkembangan kebudayaan arus pemikiran manusia dan filsafah dan
sastra antara lain :
a. Klasisme, tema
dan pertunjukan tentang kebaikan dan kesempurnaan dewa-dewa, tema
ceritanya bersumber dari Mitologi, kebaikan melawan kejahatan dimana
yang baik selalu menang. Tokohnyanya terkesan sempurna, cantik, perkasa
dengan properti yang mewah.
b. Neoklasisme,
pergeseran dari aliran klasis dan mengangkat tema pertunjukan tentang
hakikat kemanusiaan dan manusia itu sendiri (proses menuju alam pikir
filsafat), dimana menusia menempatkan diri sebagai penguasa dunia,
pengaruh mitologi hanya sedikit.
c. Romantik,
bentuk dan tema ceritanya mulai menekankan pada analisis rasional dalam
memahami kehidupan manusia. Semakin manusia lepas dari pengaruh
mitologi, manusia semakin menemui masalah yang kompleks.
d. Realisme,
mengetengahkan tema tentang kehidupan manusia secara realistis dan
objektif sehingga sisi buruk karakter manusia dan kondisi real keburukan
sebuah sistem dan budaya sering diungkapkan tanpa malu-malu. Manusia
dalam hal ini berpijak pada pemikiran bahwa keberadaan manusia
ditentukan oleh keturunan dan lingkungannya, bukan oleh kekuatan di luar
dirinya. Tokohnya adalah Chekov (Gaya realisme Sosial), Nikolai Gogol
dan W.S Rendra.
e. Naturalisme;
mengangkat sisi ekstrim kebobrokan manusia dari kalangan bawah dan
secara terbuka atau terang-terangan melakukan kritikan pedas terhadap
pengaruh negatif kekuasaan yang bersifat vulgar dan kotor.
f. Simbolisme, mengungkapkan nilai-nilai kehidupan melalui tanda-tanda yang berlaku.
g. Ekspresionisisme, penentangan terhadap realisme yang mendukung simbolisme emosional.
h. Absurdisme,
yang berarti irasional menyimpang dari logika yang didasari pandangan
bahwa dunia ini sepenuhnya netral, tidak memiliki dasar pijakan yang
kuat, kebenaran menjadi sesuatu yang chaos, tak terukur dan tak ada
kebenaran obbyektif. Kebenaran hanya dapat dicapai melalui pengamatan
indrawi, moral atau tidak bermoral selama hanya bersifat konvensi bukan
kebernaran objektif. Gaya ini kadang bercampur dengan gaya realis
ekspresionis, surealis. Tokohnya : Jean Paul Satre, Albert Camaus,
Samuel Backet. Jika di Indonesia diwakili Putu Wijaya
i. Surealisme memandang kehidupan dan manusia ini secara sinis.
j. Eksistensialisme yang mempersoalkan keberadaan manusia yang hidup tanpa tujuan.
.






0 komentar:
Posting Komentar